Kisah Ali Sadikin, Gubernur Jakarta yang Berakhir Menjadi 'Oposisi' Bersama Jenderal A.H. Nasution

ilustrasi
RELAWAN BARAK -- Ali Sadikin dan Petisi 50 bagaikan dua sisi mata uang yang terpisahkan. Petinggi militer yang menghabiskan sebagian karirnya untuk pembangunan DKI Jakarta ini beroposisi dengan pemerintah lewat 'gerakan' itu. (baca)

Bersama dengan almarhum Jenderal Abdul Haris Nasution, HR Darsono dan Kemal Idris, Ali Sadikin menggagas kelahiran kelompok kritis era Soeharto ini.

Bagaimana Petisi 50 ini lahir? Dalam catatan detikcom, sebelum lahirnya Petisi 50, tercatat apa yang disebut dengan kelompok Brasildi (Brawijaya-Siliwangi-Diponegoro). Nama itu diambil dari wilayah Komando Daerah Militer (Kodam).
   
Brasildi adalah grup diskusi yang beranggotakan sejumlah pensiunan perwira tinggi dari tiga divisi yang bermarkas di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Brawijaya diwakili antara lain oleh G.P.H. Djatikusumo, Sudirman dan M. Yassin. Munadi, Brotosewoyo, dan Iskandar Ranuwiharja mewakili Diponegoro. Dan Siliwangi diwakili Kemal Idris, Akhmad Yunus Mokoginta, Akhmad Sukendro, Daan Yahya dan A. Kawilarang.

Kelompok ini melakukan aktivitasnya sejak pertengahan 1970-an. Selama periode suhu panas menjelang Pemilu 1977, kelompok ini makin kerap bertemu. Mereka mendiskusikan dan mengkaji secara intensif situasi maupun isu-isu yang berkembang pada saat itu.

Adalah Jenderal TNI WIdodo (almarhum), yang ketika itu menjabat sebagai KSAD, yang kemudian mengambil inisiatif melembagakan Brasildi. Maka, secara resmi Brasildi kemudian berubah nama jadi Fosko (Forum Studi Komonikasi) TNI AD 1978.
   
Rupanya Fosko yang dipimpin oleh Djatikusumo itu kian intens dan produktif. Hasil pertamanya cukup mengagetkan. Yakni berupa kertas kerja yang berisi penilaian bahwa suasana politik "kurang sehat", SU MPR 1978 berlangsung mirip perang.

Satu lagi ABRI belum menempatkan diri di atas semua golongan, dan berpesan bahwa suara mahasiswa perlu didengar.
   
Belakangan bekas Panglima Siliwangi HR Dharsono masuk ke dalam Fosko dan diangkat sebagai sekjen. Mereka makin menggebu-gebu. Mereka melancarkan kritik keras kepada Golkar, mempertanyakan arah dwifungsi ABRI, dan mengingatkan perlunya pemetaan.
   
Sepak terjang Fosko itu akhirnya membuat Widodo kewalahan sendiri mengendalikan Brasildi. Apa yang kemudian terjadi? Fosko dibubarkan pada Mei 1979. Namun Widodo membiarkan para pensiunan itu membentuk wadah baru Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).

Para anggota FKS ini sempat pula punya rencana melakukan dialog dengan Presiden Soeharto ketika itu. Momentum yang dipakai adalah kunjungan Pak Harto ke Jawa Tengah, November 1979.

Namun rencana itu batal. Bahkan, kemudian muncul gosip, kelompok itu mau makar. Bekas Menhankam A.H Nasution diundang pula ke Semarang. Tapi dia menolak. Kabarnya, karena ia percaya pertemuan itu tidak akan berarti "dialog perjuangan".

Kemudian, bersama tokoh lain, Nasution memprakarsai lahirnya Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB), Juli 1978. Di yayasan ini ada Bung Hatta, Prof Sunario, Achmad Subardjo, selain nama-nama lain seperti Ali Sadikin, Aziz Saleh, Hoegeng Imam Santoso, serta AY Mokoginta yang juga dulunya anggota Fosko.
   
Kelompok ini mudah diduga, bakal bersuara keras karena sepekan sebelum YLKB diresmikan di depan notaris, Nasution bersama sejumlah tokoh YLKB telah melansir kritik bahwa Pancasila dan UUD 1945 belum dijalankan secara benar. Setelah itu, dalam pertemuannya dengan DPR, Agustus-September 1979, Ali Sadikin dkk, atas nama YLKB melancarkan kritik-kritik.
   
Pada akhirnya, April 1980, lewat isu pidato Presiden Soeharto (tanpa teks) di depan peserta rapat pimpinan ABRI 27 Maret 1980 di Pekanbaru, dan dalam acara HUT ke-28 Kopassanda (sekarang Kopassus) 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta.

Pada kedua pidato itu antara lain Presiden mengingatkan jajaran ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Dan karena tak menginginkan konflik bersenjata, Presiden mengatakan, (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai.

Lewat kesempatan itu pula, Pak Harto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada dirinya dan keluarganya.

Isu itu dikatakan mungkin berasal dari pihak yang merasa usahanya termasuk usaha mengganti Pancasila terhalang Pak Harto. Pidato itu mengundang reaksi keras dari sejumlah tokoh.

Ali Sadikin, Hoegeng, Aziz Saleh dari YLKB lantas mengadakan pertemuan dengan Achmad Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka lalu merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan.

Surat keprihatinan itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Ada 50 orang yang ikut menekennya. Itulah kemudian yang melambung dengan nama Petisi 50. Sekaligus itu yang menandai lahirnya kelompok Petisi 50. Surat Keprihatinan itu dikirim ke DPR, dengan permintaan agar lembaga perwakilan rakyat menanggapinya.

Gayung pun bersambut. Ada 19 anggota DPR dari (F-PP dan F-PDI) yang menanggapi Petisi 50 itu dengan mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah. Kemudian, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden.

Presiden Soeharto pun tak tinggal diam. Pada 1 Agustus 1980 dia menjawab pertanyaan wakil-wakil rakyat itu. Adalah Mensesneg Sudharmono yang membacakan jawaban Presiden, yang berisi transkripsi pidato presiden di Pekanbaru dan Cijantung.
   
Sebagaimana yang dibacakan Sudharmono, Kepala Negara antara lain mengatakan, "Saya yakin para penanya sebagai anggota DPR, wakil-wakil rakyat yang telah banyak memiliki pengalaman: politik, dengan membaca baik-baik pidato yang saya sampaikan itu, akan dapat memahami maksud serta isi pidato-pidato saya tersebut, sehingga dengan demikian dapat merupakan jawaban yang memadai atas hal-hal yang dipertanyakan itu."
   
Namun setelah kepala negara menjawab, persoalan tetap belum dianggap selesai oleh Ali Sadikin cs. Sikap Pak Harto sendiri sangat jelas. "Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
   
Kelompok yang dikomandani Ali Sadikin itu memang tak pernah sepi sebagai bahan berita. Walaupun sebagian anggotanya sudah mreteli, baik karena meninggal dunia, maupun memilih jalan atret, tidak lagi aktif. Selama belasan tahun sudah kiprahnya tak juga kunjung berhenti, dan mencoba untuk tetap eksis.

Padahal mereka tak utuh lagi. Beberapa di antaranya malah sudah meninggal dunia. Yang sudah meninggal itu antara lain Letjen (pur) Akhmad Yunus Mokoginta, Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata.
   
Tiga orang lainnya menyeberang, dengan mencabut pernyataannya dalam Petisi 50.  "Mereka tidak ditahan. Sumber ekonominya dipangkas," kata Ali Sadikin tahun pada 1991.

Gangguan terhadap sumber ekonomi memang diakui sebagai dampak aksi Petisi 50. Ali Sadikin, misalnya, mengakui tak bisa mendapat kredit dari bank. Perusahannya, PT Arkalina sempoyongan dan terpaksa gulung tikar.

Mereka juga kena cekal, tak boleh bertandang ke luar negeri. Dan Kamis 3 Juni 1993 lalu, Petisi 50 memasuki sebuah babak baru. Adalah Menristek BJ Habibie yang mengambil langkah terobosan.

Ia mengundang Ali Sadikin cs berkunjung ke PT PAL Surabaya. Malahan Pak Harto merestui inisiatif Habibie itu. "Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 mulai 'membaik'.

Namun daya kritis Ali Sadikin tidak berhenti begitu saja. Saat Soeharto tumbang dan digantikan oleh BJ Habibie, Ali Sadikin bersama Kemal Idris melahirkan Komunike Bersama yang menolak SI MPR dan mendesak dibentuknya pemerintahan presidium. Gara-gara ini juga keduanya pernah dijadikan sebagai tersangka dengan tuduhan makar.

Kini tokoh kritis itu telah tiada. Selamat jalan, Bang Ali! Kami mencatat langkahmu dalam sejarah.
Share on Google Plus

About Wish Me Luck

Anies Baswedan bersama Sandiaga Uno memenangkan pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta pada 2017 setelah melewati dua putaran. Didukung oleh Gerindra, PKS, PBB, Partai Idaman, SI dan sejumlah elemen masyarakat, pasangan ini menang atas 57,95% suara, dukungan tertinggi dalam pemilihan umum gubernur Jakarta. Anies memulai masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Oktober 2017.

0 komentar:

Posting Komentar